Intervensi
Negara Terhadap Rahim Perempuan
Tepatnya empat bulan lalu,
tidak sengaja saya melihat cuplikan program televisi Mata Najwa yang saat itu
tengah mengangkat topik bupati-bupati berprestasi di sejumlah daerah. Para
bupat ini dianggap sosok yang berbeda dari pemimpin daerah kebanyakan karena
memiliki gaya kepemimpinan yang dekat dengan rakyat. Satu sosok yang cukup
menarik perhatian saya saat itu adalah Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib.
Hal yang menarik adalah ketika Najwa Shihab menyoal program ibu hamil yang
dijalankan oleh pemerintah daerah Gorontalo yang tidak hanya melibatkan tenaga
medis atau dinas terkait saja namun juga aparat keamanan seperti TNI dan
polisi. Menurut keterangan sang bupati, tingginya angka kematian ibu (AKI) di
Gorontalo membuat pemerintah membentuk petugas khusus dalam menjalankan program
perawatan ibu hamil, yakni G-gas atau Gugus Petugas. Satuan petugas ini terdiri
atas tokoh agama, tokoh masyarakat, Polsek, Polres, Ramil, dan Babinsa yang
siap ‘menggiring’ para perempuan yang enggan mengakses layanan kesehatan
modern. Ya, masyarakat Gorontalo enggan mengakses layanan kesehatan modern
karena mereka masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap bidan kampung
daripada tenaga medis profesional. Bupati juga menambahkan, kalau dengan
menempatkan tenaga-tenaga medis professional di desa-desa ini akan menjadi hal
yang percuma karena kepercayaan masyarakat saja masih rendah terhadap mereka.
Lalu apakah tugas aparat keamanan atau tenaga para militer ini? Aparat keamanan
ini bertugas untuk memaksa ibu-ibu hamil agar mau mengakses layanan rumah
bersalin atau Puskesmas.
Dalam
kerangka SDG’s, sustainable development
goals yang merupakan bentuk penyempurnaan dari Millennium Development Goals, di tahun 2015 ini Indonesia menargetkan
turunnya rasio kematian ibu hingga 102 per 100.000 per kelahiran hidup.
Sebelumnya, sampai tahun 2007 rasio
kematian ibu di Indonesia mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka, pemerintah Indonesia memastikan bahwa semua
kelahiran akan ditangani oleh tenaga bidan profesional. Jika berkaca pada data
profil dinas kesehatan propinsi Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dapat dikatakan
memiliki angka kematian ibu tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota di
Propinsi Gorontalo lainnya. Penyebab dari kematian ini umumnya dikarenakan
perdarahan, hipertensi, infeksi, dan abortus. Maka untuk menekan AKI ini
pemerintah memilih cara yang opresif terhadap perempuan daripada menggunakan
pendekatan yang berprespektif kesetaaraan gender. Melalui kebijakan semacam ini
pemerintah daerah kabupaten Gorontalo telah melanggar hak perempuan yang
menjadi bagian dari hak asasi manusia. Hal ini seperti yang telah tercantum
dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional. Dalam instruksinya, presiden menghimbau lembaga-lembaga
Negara termasuk pemerintah daerah agar pengarusutamaan gender digunakan sebagai
pendekatan untuk menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan serta
program pembangunan nasional sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
Jika
kita tarik ke belakang, pelibatan aparat keamanan dalam program pelayanan
kesehatan ibu juga pernah terjadi pada masa Presiden Soeharto. Saat itu pemerintah
melibatkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam program Keluarga
Berencana (KB) untuk meningkatkan jumlah akseptor. Para perempuan yang enggan
menggunakan alat kontrasepsi kemudian akan dipaksa agar mau menjadi akseptor
melalui pengerahan ABRI. Beberapa tahun kemudian kebijakan serupa juga terjadi
pada masa pemerintahan SBY. Kebijakan ini kemudian menuai kritik terutama dari
kalangan aktivis dan pemerhati hak perempuan, yang dituangkan dalam naskah
pernyataan bersama untuk memperinghati Hari Perempuan Internasional tahun 2009.
Masuknya
militer sampai ke ranah privasi warga Negara, dalam hal ini adalah tubuh
perempuan, merupakan bentuk kekerasan terhada perempuan. Hal ini sesuai dengan
yang tertulis dalam Deklarasi PBB Tahun 1993 pasal 1, yang berbunyi:
“kekerasan terhadap perempuan
adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat pada
kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam
lingkungan kehidupan pribadi.”
Tindakan
pemaksaan terhadap perempuan oleh angkatan bersenjata agar mau menjadi akseptor
atau berobat kepada tenaga medis, termasuk bentuk pelanggaran hak asasi manusia
karena telah mengabaikan hak atas otoritas tubuh perempuan. Sudah seharusnya
perempuan mendapatkan hak atas perlindungan di segala bidang termasuk
kesehatan, seperti yang tertuangdalam pasal 3 di dalam deklarasi tersebut.
Sudah
seharusnya pemerintah tidak lagi mengintervensi tubuh perempuan apalagi melalui
tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis. Pendekatan yang lebih humanis
dengan menjunjung tinggi HAM, khususnya hak kesehatan reproduksi dan seksual,
sudah sepatutnya dilakukan untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap
perempuan. Melalui edukasi dan pendampingan kepada masyarakat misalnya, langkah-langkah
tersebut bisa ditempuh untuk menekan tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Rahim perempuan merupakan sumber kehidupan, sudah sepatutnya diberikan jaminan
penuh atas kesehatannya dan hak-hak atas otoritas tubuh perempuan itu sendiri.
Tantri Swastika
*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti salah satu kompetisi menulis dengan tema Perempuan, Kesehatan Reproduksi, dan Seksualitas
No comments:
Post a Comment