Siang ini
(17/12) baru saja dilaksanakan Rapat Koordinasi Kewajiban Internasional
Indonesia Kepada Komite Pemantau Hak-hak Penyandang Disabilitas PBB di Hotel
Sheraton Mustika Yogyakarta. Acara yang diadakan oleh Direktorat HAM dan
Kemanusiaan di bawah Kementerian Luar Negeri tersebut mengundang instansi
pemerintah dan non pemerintah yang menggeluti isu disabilitas. Pokok dari
diadakannya pertemuan yang menurut saya lebih berisikan “diskusi” atau Tanya
jawab tersebut mengkritisi sikap pemerintah dan masyarakat terhadap Convention on the Rights of Persons with
Disabilities (CRPD) sebagai Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN
HAM). RAN HAM ini yang kemudian menjadi instrument penting dalam
mengarusutamakan isu-isu disabilitas dalam pembangunan nasional.
Agenda rapat
koordinasi tersebut menghadirkan tiga narasumber yaitu Direktur HAM dan
Kemanusiaan Kemenlu, Muhammad Anshor, Biro Hukum Setda DIY, Bapak Sukamto, dan
Setyo Adi dari ketua Dria Manunggal. Presentasi cukup menarik ketika Bapak
Setya memaparkan banyak informasi mengenai kendala dan apa saja program-program
yang telah berjalan di Yogyakarta terkait
pengarusutamaan isu disabilitas. Diantaranya yang menarik yaitu saat
beliau memaparkan betapa pemerintah kita menghiraukan kerentanan seseorang mengalami
disabilitas, misalnya bagaimana penggunaan pestisida berlebihan pada pertanian
bawang di Brebes bisa membuat para petani mengalami kelumpuhan otak atau
bagaimana pencemaran limbah timbang pada ikan-ikan di Tanjung Priok yang
berpotensi pada kecacatan seseorang. Selain itu beliau juga menyampaikan
kurangnya kesadaran aparat pemerintah dalam mengakomodir hak-hak kelompok
difabel dalam mengakses layanan public seperti layanan kesehatan, transportasi,
ataupun hukum.
Pak Setya
juga memaparkan berbagai program pemerintah yang telah melibatkan Organisasi
Penyandang Disabilitas seperti dalam Musrenbang, pemberian kuota tenaga kerja,
latihan kerja, jaminan kesehatan khusus, dan lain-lain meskipun belum optimal.
Acara
kemudian dilanjutkan dengan sesi Tanya jawab yang tentu saja menarik banyak
audiens untuk mengungkapkan segala ide dan kritik terhadap sikap pemerintah
terkait CRPD. Ternyata tidak hanya pemerintah saja yang berperan aktif dalam
mengakomodir hak-hak kelompok difabel namun masyarakat juga perlu memiliki
kesadaran untuk saling menghargai akan kebutuhan kelompok tersebut. Kita masih
bisa melihat misalnya di trotoar Jalan Malioboro misalnya, guiding block bagi tuna netra justru digunakan untuk berjualan atau
tempat parkir kendaraan. Ada juga audiens yang mengeluhkan bahwa Bank Indonesia
tidak menyediakan layanan ATM bagi para penyandang tuna netra atau masih banyak
fasilitas bangunan yang tidak aksesible bagi kelompok difabel.
Rekomendasi
dari acara tersebut bermaksud menyinergikan kebijakan lintas sektor dalam
mengakomodir kepentingan kelompok difabel. Tentunya banyak audiens juga
berharap bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengarusutamaan isu disabilitas
ini tidak hanya sebatas dilakukan untuk memenuhi “laporan” kerja mereka saja
namun program yang ada juga betul-betul sesuai dengan kebutuhan kelompok
difabel.
Tantri Swastika