Pages

31 August, 2013

Sajak untuk sebuah bibir

Aku rela menjadi yang terakhir
yang terakhir kali mencecap bibirmu
setelah kopi dan rokok yang kau nikmati terlebih dahulu

Aku rela menjadi yang terakhir
yang terakhir membasuh jejak rasa yang ditinggalkan kedua benda itu
kedua benda yang kau sebut-sebut sebagai sumber energi untuk mengawali kerasnya hari
aromi kopi yang sedikit asam dan filter yang manisnya menggelikan
kedua aroma yang selalu kurindukan, setelah manisnya bibirmu 

Aku rela menjadi yang terakhir
yang terakhir menghapus jejak aroma rokok dan kopi bibirmu
karena dengan begitu aku telah menjadi penguasa tunggal,
penguasa tunggal atas sebuah kenikmatan sederhana yang berbuah dari tiap jengkal bibirmu

Aku rela
meskipun harus menjadi yang terakhir

21 August, 2013

Intermeso

          Beberapa waktu lalu, sudah lama, aku pernah nge-post interview kecil-kecilan bersama seorang teman kuliah. Saat itu, aku pengen menyuguhkan bentuk lain dari sekian postingan2 nggak mutu-ku -..- Ya, diantaranya dengan memunculkan sebuah interview terhadap sosok yang meskipun nggak populer atau melegenda, ingin aku hadirkan disini. Setidaknya jadi legenda di blogku yang makin hari makin kusut ini. Kali ini niat jahat untuk mengosak-asik blog ini kembali mencuat. Dan kali ini aku berhasil membujuk seseorang yang telah lalai mau nulis di blog ini. Siapa dia? Tunggu besok ya :)

19 August, 2013

Paradise Fall


 Mengulang kesuksesan kemah pantai beberapa tahun lalu, weekend kemarin saya dan kawan-kawan SMA pergi bermalam ke sebuah spot tersembunyi di selatran kota Jogja. Semua sudah dipersiapkan lengkap. Dari tenda, logistik, pokoknya segala uba rampe buat hepi-hepi. Sialnyaaa... setelah mendirikan tenda malam itu, saya baru teringat kalau kompor yang saya bawa ketinggalan di Sekolah (meeting point kami sebelum berangkat). Akhirnya mau tak mau kami harus memasak logistik yang sudah terbeli dengan kayu bakar dan tong yang kami sewa dengan harga yang cukup fantastis. Btw, kemajuan pariwisata di pantai ini mulai memunculkan kapitalis-kapitalis kecil bagi warga yang berjualan disana. Segala apapun disewain, kita nggak boleh beli kayu bakar aja alias kalo mau bebakaran ya harus sekalian sewa tong-nya, dengan alasan agar pantai tidak kotor. Tapi lagi-lagi harga sewanya yang nggak ramah ini membuat kami cuma bisa mengeluh.



Sebetulnya tujuan camping ground kita ini ada di pantai sebelah, sebutlah pantai X, disana ada air terjunnya, dan memang bukan objek pariwisata alias sangat sepi dari pengunjung. Karena kita terlalu malam sampai di lokasi, akhirnya kami direkomendasikan warga untuk menginap di Pantai Y karena kalau malam hari begini Pantai X pasang dan tidak ada lokasi parkir disana. Untuk menuju Pantai X ini, sama seperti perjalan menuju Pantai Y, jalannya masih jelek. Karena jalannya adalah jalan setapak, maka motor tidak bisa lewat dan harus diparkirkan di pinggir jalan. Butuh waktu 30 menit untuk berjalan kaki menuju pantai X. Jalannya cukup landai dan saat akan sampai di pantai kita akan disambut oleh gonggongan anjing warga yang bermukim di dekat pantai. Begitu pagi harinya kami sampai di lokasi, betul saja pengunjung disana hanyalah rombongan kami. Sangat sepi. Bersih. dan inilah sepotong Paradise di bumi.






15 August, 2013

grumble

pernah nggak kalian merasa
atau percaya
kalau tubuh yang kalian punya sekarang ini,
bukan hanya punyamu sendiri, tapi ada orang lain yang punya otoritas
atas tubuhmu?

Nggak ada?
Coba pikir lagi deh.

ada yang mengontrol seperti apa seharusnya bentuk tubuh dan warna kulitmu?
ada yang menyuruhmu bagaimana seharusnya berpakaian?
ada yang menghendaki seberapa panjang seharusnya rok yang kamu pakai?
ada yang mengatakan sejauh mana tubuhmu boleh diumbar?
ada yang memerintahkan seperti apa bentuk kerudung yang harus kamu kenakan?



Arti seorang pejalan

    Pada kesempatan ini, saya hanya sekedar ingin melebarkan pandangan dan mengurai pengalaman dari apa yang selama ini kita sebut dengan berwisata piknik, tamasya, jalan-jalan, atau mungkin kalian lebih nyaman menggunakan istilah traveling. Yup. Semua orang sedang berada dalam euforia ini. Tidak ada maksud untuk menghakimi atau menyudutkan siapapun dalam curhatan kali ini. Ini semua pure hanya untuk memproyeksikan segala buah pikiran dan segala yang pernah saya jumpai dalam sebuah kegiatan yang bernama perjalanan. 
Please be relax... 
   Beberapa waktu lalu, seorang teman membagi sebuah laman  yang berisi interview seorang tokoh sosmed yang kemudian mengulas banyak soal makna seorang pejalan. Yaaah, intinya sih kalau dalam interview tersebut, si tokoh yang bernama Arman Dhani -bisa disimpulkan- hampir-hampir mengkalim kalau pariwisata atau kegiatan melancong ini cenderung membawa mudharat bagi alam, bersifat eksploitatif dan tidak selalu mendatangkan keuntungan bagi lingkungan maupun masyarakatnya. Sebelumnya seorang kawan juga pernah men-suggest sebuah laman soal green traveler kepada saya, isinya lebih kurang sama yaitu bagaimana kita sebagai seorang pejalan seharusnya bisa bertanggungjawab terhadap alam atau tempat yang dikunjungi. Salah satu yang ditekankan adalah dengan tidak mempromosikannya kepada khalayak luas, karena dengan begitu kita telah memicu kerusakan yang akan ditimbulkan jika banyak orang datang ke tempat tersebut. Karena nggak semua orang bisa bersikap bijaksana dalam memperlakukan suatu tempat. Pada kesempatan yang lain, seorang teman juga pernah berkomentar bahwa tourism atau traveling merupakan salah satu bentuk hedonisme yang paling rendah. Dia juga mengatakan bahwa banyak ulasan travel blogger/ writer yang tidak berbobot, mereka hanya menulis soal keindahan suatu objek, akses menuju tempat tersebut, apa yang bisa dilakukan disana, namun tanpa pernah mengkajinya secara humanis atau edukatif. Cetek. Dangkal, katanya. Iya. Saya mengamini seluruh pendapat tersebut.
 Betul juga sih semua itu. Bayangkan saja saat ada ribuan orang camping di Ranukumbolo, yang beberapa waktu lalu diadakan oleh brand outdoor ternama, seperti apa kerusakan alam yang akan terjadi disana? Kegiatan yang mengundang banyak peminat itu melebihi kapasitas yang ditentukan oleh Taman Nasional tersebut. Saya juga menjadi saksi mata saat wisatawan di Pahawang bersnorkeling ria tanpa rasa bersalah berdiri di atas terumbu karang! Dan dengan sangat menyesal saya akui, saya dulu memang pernah mengunjungi Pulau Sempu, dan benar saja semakin ramainya tempat tersebut oleh para 'pelancong gelap' membuat Sempu semakin kotor. Banyak sampah di Segara Anakan. Di sisi lain, warga tetap menjalankan pekerjaan mereka, mengantar tamu dengan kapal mereka menuju Pulau. Ini soal uang. Soal perut yang harus mereka isi. 
Pada kesempatan yang lain, saya -sebagai person yang (tidak munafik) juga senang berwisata- menjumpai berbagai perspektif dari teman pejalan lainnya.
Suatu kali seorang teman bercerita dengan sangat bangga bahwa dia bisa makan gratis dari penduduk lokal di suatu pulau, juga bisa menginap tanpa biaya. Nggak heran sih, dia menamakan dirinya 'pejalan gembel' dimana semakin murah atau kalau bisa gratis sesuatu yang kita peroleh, maka semakin keren label yang kita sandang. Saya kembali teringat pada perkataan seorang teman bahwa seringkali kita lupa bagaimana memanusiakan manusia. Saat kita diberi, meskipun secara gratis, ya seharusnya kita balik memberi... bukannya dengan bangga menerima begitu saja apa yang diberikan oleh orang lain. Contohnya saja, saat kita diperbolehkan menginap di rumah penduduk lokal, maka paling tidak kita memberikan kontribusi kepada mereka juga. Tidak hanya observasi atau menikmati alamnya, namun kita seharusnya juga ikut 'memberi' mereka, yang telah memberikan kita tempat tinggal. Bahkan seringkali kita tidak memperhatikan risiko yang kita berikan kepada oranglain yang telah membantu kita. Misalnya saja saat ada pejalan yang ngompreng atau nebeng gratisan di sebuah truk. Kalau duitnya beneran ga ada atau habis kecopetan sih beda ceritanya ya...tapi kalau nebeng angkutan cuma untuk meminimalisir bajet? Saya rasa itu juga nggak bijak. Misalnya nih, kalau kita nebeng, -meskipun dengan persetujuan sopir- kita secara tidak langsung memberi risiko pada si sopir, kalau -amit2- ada kecelakaan atau razia polisi, otomatis si sopir lah yang mau tidak mau harus ikut bertanggungjawab atas 'tumpangannya'.  
Pernah suatu kali saya menginterupsi seorang teman yang memilih untuk ''mengkompor-kompori'' oranglain agar mau berwisata ke tempat yang ia kunjungi melalui upload-an foto-foto di facebooknya. Saya saat itu bilang justru kalau begitu kamu sama saja mengundang mereka untuk merusak alam tersebut, karena nggak semua orang bisa bertanggungjawab lho. Dia tetep kekeuh dengan alasan promosi wisata Indonesia lebih baik dilakukan daripada orang-orang menghabiskan uang ke luar negeri, katanya. 
    Pada kesempatan yang lain seorang teman berpendapat juga kalau sebaiknya tempat yang indah itu disimpen buat sendiri aja, nggak perlu dipublish atau dikoar-koarin ke oranglain. Sama seperti yang dikatakan mas Arman Dhani. 
Gawatnya lagi, seorang teman pernah terobsesi untuk membangun bisnis (resort) di suatu pulau yang pernah kami kunjungi dimana saat ini belum banyak orang tahu keberadaan pulau tersebut *tepok jidat*
Seperti Arman Dhani bilang, banyak traveler yang tujuan jalannya 'cuma' untuk pencapaian destinasi semata, upload di sosmed kemudian publish di blog. Orang-orang semacam ini pernah juga saya jumpai, barangkali juga saya sendiri, bahkan.
        Bagi mereka yang pro terhadap kunjungan Pariwisata, alasan keberdayaan ekonomi masyarakat (dan investor) lah yang diagungkan. Di sisi lain, alam perlu dijaga keseimbangan ekosistemnya. Cukup kompleks kalau kita mau mengkaji persoalan ini. Nggak bisa kita lihat hanya dari satu sudut pandang saja.
      Kemudian saya merefleksikan pengalaman tersebut terhadap apa yang sering saya lakukan. Tulisan perjalanan saya di blog ini, boleh dikatakan sama sekali tidak berbobot. Cuma bercerita soal catatan perjalanan saya semata, meskipun kadang saya sisipi informasi. Foto-foto saya bersifat 'pamer', barangkali. Bersifat eksploitatif. Tetapi saya tidak mau munafik, tujuan saya dari awal ya untuk menuliskan catatan perjalanan, sebagai memoir belaka, sedangkan untuk foto saya bermaksud mendokumentasikan saja dan tell a friend. Mungkin alasan yang terakhir ini yang tidak manusiawi. Seolah-olah saya menceritakan bahkan mengundang mereka untuk mengunjungi tempat-tempat indah yang juga saya kunjungi. ''Seolah-olah'' lhoo...
     Yup. Betul. Seperti yang dimuat dalam interview dengan Arman Dhani, disebutkan bahwa semua itu kembali ke tujuan personal seorang pejalan. Apapun penyebutannya, mau bakpacker, flashpacker, traveler, semua punya tujuan masing-masing. Mau traveling dengan konsep minim bajet, mencari pengalaman, mendambakan pleasure semata, atau sekedar pencapaian saja, itu yang diluar kendali kita. Nggak bisa sih kita menghakimi aktivitas tersebut. Mau kita cuma dateng untuk seneng-seneng, liputan, pekerjaan, atau observasi, minimal kita bisa bersikap bijak sama alam dan masyarakatnya. Ini sih yang nggak semua orang bisa. Belajar dari apa yang kita lihat dan alami. 



Selamat Lebaran!
*cium tangan*

06 August, 2013

Bermalam di atas Prau


Where?
Gunung Prau, Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah

When?
6-7 Juli 2013

Who?
Tantri, Dimpil, dan Pengok

How to get there?
Naik motor dari Jogja jam 8 pagi melalui jalur Sapuran (Borobudur) dan sampai di Dieng pada pukul 11 siang. Kondisi jalan sekitar Sapuran (Magelang) tidak cukup bagus.
Pulangnya kami lewat Tambi (Temanggung), sepanjang jalan ini kamu akan disuguhi pemandangan perkebunan teh Tambi, Gunung Sindoro dan Sumbing. Tetapi untuk kualitas jalannya sama seperti kondisi jalan di Sapuran, tidak cukup bagus, sayangnya melalui jalur ini maka akan dibutuhkan waktu lebih lama. Kami pulang sekitar pulang 11 dan sampai Jogja pada pukul 4 (sebelumnya mampir ke Pasar dan beristirahat di Temanggung dulu).

Sumatra Pertama kali


Where?
Kepulauan Pahawang, Lampung, Indonesia.

Who?
Tim Ubur-Ubur Beracun

When?
14-16 Juni 2013

Activities:
- Snorkeling di sekitar Kepulauan Pahawang dan Tanjung Putus
- Hopping Island di Pahawang Kecil dan explore sekitar Gosong
- Spend a night in Kelagian, enjoy the sun rise and explore Kelagian in the morning

01 August, 2013

Summer is mine



*Happy birthday

           Tepat tanggal 29 kemarin saya berulangtahun. Di awal tahun ini saya memang berandai-andai, kira-kira ulangtahun kali ini akan saya lewatkan dimana ya? Ehem *sombong dikit* Mengingat tiga tahun terakhir ini, saya menghabiskan tiga kali ulangtahun saya tidak di kota asal saya, melainkan di tiga kota yang berbeda, bahkan berbeda pulau, sampai berbeda benua, Alhamdulillah Tuhan tidak henti-hentinya membahagiakan umat-Nya. Tahun 2010. ulangtahun saya jatuh tepat saya masih mengikuti kursus Bahasa Belanda di Jakarta, kali itu teman sekelas menyanyikan lagu lang zal hij leven atau lagu ulangtahun kepada saya, kebetulan sekali materi topik saat itu tentang ulang tahun, setiap orang menyatakan kapan ia lahir. Kemudian tahun 2011, Tuhan memberi berkah kepadaku untuk menghabiskan hari ulangtahun di Zeist, Utrecht, yaitu bertepatan dengan summercourse selama 2 minggu yang saya ikuti, bahkan saya mendapatkan kado karena memang setiap siswa yang berulangtahun saat itu akan mendapat nyanyian serta kado dari panitia. Tahun 2012, ulangtahun saya dirayakan oleh keluarga baru saya, yaitu oleh tim KKN 201a di Amban, Manokwari, Papua Barat. Ada hal spesial tersendiri di setiap momen tersebut. Namun mungkin yang paling spesial justru tahun ini, ketika saya menghabiskan seluruh waktu musim panas saya bersama partner paling baik sedunia, siapa lagi kalau bukan pacar saya! Saya senang, kemarin kami menghabiskan waktu seharian, dari mencari souvenir untuk Maartin dan berdiskusi untuk terakhir kali bersamanya -seorang teman baru yang membawa pengetahuan dan pengalaman banyak bagi gudang ilmu saya selama dua minggu ini-, hingga buka puasa bersama. It's not a big deal sih sebenernya buat saya mau ulangtahun kita dirayain atau enggak, yang terpenting adalah seperti apa kamu akan merefleksikan sisa waktu hidupmu yang semakin sebentar ini?


Ciao!
With love,
Tantri