Pages

22 March, 2014

Meninggalkan Zona Nyaman



Kadang apa yang kita takutkan untuk dilakukan sesungguhnya tidak seburuk apa yang dibayangkan.

Hal yang paling umum sajalah:  Meninggalkan Zona Nyaman atau seperti yang saat ini sedang saya alami. Sebagian orang beranggapan bahwa hal tersebut pasti akan dialami setiap orang. Misalnya saja saat seseorang sudah selesai studi dan harus mencari pekerjaan di kota lain atau bahkan di Negara lain, mau tidak mau ia harus meninggalkan rumah yang notabene menjadi zona aman atau zona nyaman bagi mereka. Di sisi lain, ada juga sebagian orang yang enggan untuk meninggalkan zona nyamannya dan memilih untuk menetap di kota asalnya hingga lanjut usia.

Bagi saya sendiri, yang sudah duapuluh dua tahun tinggal di kota yang sama sejak lahir, tidak mudah meninggalkan tempat yang memang sudah bikin nyaman. Tapi lagi-lagi apa yang disebut nyaman bagi masing-masing orang itu relatif ya. Kalau nyaman bagi saya selama ini ya tinggal di Jogja, kota kelahiran dan dimana saya dibesarkan, bersama orang-orang terkasih, bisa orangtua, teman, sahabat, pacar, sampai saudara. Kadangkala kenyamanan tersebut bersifat fluktuatif hahaha, kadang sosok-sosok tersebut menyenangkan kadang menyebalkan. But that’s not a big deal. Namun bagi sebagian orang bisa jadi hal tersebut tidak membuat mereka nyaman. Ada orang yang merasa tidak nyaman jika tinggal bersama orangtua mereka saat sudah dewasa, ada juga yang merasa tidak betah tinggal di kota dimana ia dibesarkan karena faktor lain.

Bagi saya, meninggalkan zona nyaman berarti: pergi dari rumah baik dalam tempo lama atau sesingkat-singkatnya tanpa orang-orang yang membuat saya nyaman yaitu orang-orang yang tidak memiliki relasi dekat. 

Tiap kali pergi liburan seperti keluar kota dalam tempo beberapa hari dan sendirian atau bersama orang-orang yang sebelumnya tidak saya kenal, seringkali muncul semacam sindrom yang bikin tidak nyaman. Sindrom ini memunculkan perasaan tidak nyaman dan memunculkan banyak ketakutan dalam benak saya. Ketakutan-ketakutan ini seperti: bagaimana jika saya tidak beradaptasi dengan lingkungan yang baru atau asing, lalu bagaimana kalau saya tidak bisa berbaur dengan orang-orang yang sebelumnya tidak saya kenal, hingga ketakutan jika terjadi hal buruk dalam perjalanan namun biasanya saya usahakan untuk terus berpikiran positif dan menciptakan rasa aman bagi diri sendiri. Ketakutan-ketakutan tersebut jarang terjadi jika saya pergi berlibur atau melakukan perjalanan bersama sahabat, keluarga, atau partner saya, ya kembali lagi bahwa bersama individu-individu tersebut saya merasa nyaman dan aman.

Saat ini, sudah genap tiga minggu saya meninggalkan rumah dan bisa dibilang ini pengalaman pertama saya untuk hidup nomaden alias berpindah-pindah. Selama hampir dua minggu di awal bulan ini saya baru saja melakukan perjalanan yang tujuannya memang untuk liburan. Perjalanan tersebut memang cukup berbeda dari liburan-liburan sebelumnya, karena selain saya harus berpindah-pindah ke empat kota berbeda, saya juga sempat melakukan perjalanan sendirian setelah berpisah dengan dua orang teman sebelumnya. Sepulangnya dari perjalanan tersebut saya masih harus singgah di ibukota untuk menyelesaikan penelitian untuk tugas akhir saya, hingga dua minggu kedepan.

Pada awalnya saya cukup ragu dengan semua keputusan dan rencana yang saya buat. H-minus satu menjelang perjalanan, saya mulai melakukan persiapan. Bersamaan dengan itu mulai bermunculan banyak pertanyaan yang mengganggu saya: Apa iya saya bisa melakukan perjalanan ini sendirian? Apa iya saya akan merasa aman nantinya? Bagaimana nanti kalau saya bertemu dengan orang yang berniat jahat terhadap saya? Kalau saya tidak menikmati liburan yang saya rencakan bagaimana? Jika data yang saya cari saat penelitian tidak ketemu bagaimana? Sungguh saya takut kalau tidak betah saat di Ibukota nanti. Duh, kalau begini saya ingin tinggal di rumah saja: bangun siang, nonton tivi, online depan computer seharian, dan nongkrong sama teman.

Then, how’s my life so far?

Jauh dari bayangan saya!

Pertama, Liburan saya memang berjalan menyenangkan, diluar hambatan yang memang sudah lazim terjadi sesuai prediksi. Saya banyak mendapatkan teman di perjalanan, ada saja orang yang membantu kesulitan selama perjalanan saya, banyak hal baru yang saya alami dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tentu saja banyak pelajaran yang saya dapatkan selama ini.

Kedua, bayangan saya soal ketidaknyamanan saat tinggal di ibukota memang benar adanya, but it’s not that bad! Nggak seburuk pikiran saya. Memang berdiri bermenit-menit dan berdesakan dalam KRL tiap pagi, terjebak dalam kemacetan dan kebisingan klakson kendaraan saat didalam angkot, hingga susahnya menyeberang di jalan raya itu bukanlah hal yang nyaman. Namun diluar itu saya justru menikmatinya! Mungkin karena hal tersebut jauh berbeda dengan rutinitas saya selama ini yang biasa menggunakan kendaraan pribadi, terbebas dari macet, dan serba cepat mau kemanapun. Ya, saya menikmati hal-hal baru tersebut. Di Jogja, saya jarang menggunakan transportasi umum, mau kemana-mana tinggal nak motor sendiri. Jalanan juga nggak semacet di Jakarta, namun kemacetan disini memang tidak lagi bisa ditolerir! Harus super sabaaaar.

Ketiga, meskipun jauh sebelum ini saya suka nyasar dan salah arah, namun kini dua hal tersebut sudah lazim saya alami dan itu tidaklah buruk. Banyak hal baru yang justru saya temui saat nyasar. Misalnya saat saya tersesat di Bangkok sendirian, saya jalan terus saja hingga pada akhirnya saya menemukan sebuah bangunan cantik semacam vihara yang ternyata di seberangnya ada Mall. Juga selepas kunjungan di sebuah kuil di HCMC kami entah harus berjalan kemana untuk mendapatkan angkutan umum, dan ternyata saat hilang arah tersebut kami menemukan warung kopi dengan furniture unyu yang seru buat photoshoot. Hahaha!

Keempat, perjalanan yang berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain membuat kegiatan packing-unpacking menjadi rutinitas yang biasa bagi saya. Dari  sini jadi pembelajaran gimana saya harus gerak cepat dan mengatur barang bawaan saya se-efisien mungkin untuk membuat perjalanan nyaman dan aman. Meskipun saya cukup sedih saat tahu kalau se-kresek berisi baju kotor saya tidak terpacking dalam backpack alias ketinggalan di hostel saat di Phnom Penh. 

Ternyata, meninggalkan zona nyaman itu tidaklah seburuk yang dibayangkan. Banyak hal kita belajar dari situ yang tidak akan pernah kita temui di perguruan tinggi manapun. Bukankah melakukan perjalanan itu adalah bagian dari seni bertahan hidup? 

So, let’s get lost!
Ciao!

14 March, 2014

Life must go on!

       Baru juga jam dua belas malam kami sampai di Ibukota. Linggar, teman perjalanan saya selama dua belas hari ini masih harus melanjutkan perjalanannya pulang ke Jogja, berbeda dengan saya yang masih harus menyelesaikan tugas selama tiga minggu ke depan di Ibukota ini. Menemani Linggar di Stasiun Senen sambil terkantuk-kantuk dan menunggu jam 6 tiba, waktu dimana saya baru bisa menginjakkan kaki di kos seorang teman di kawasan Jalan Surabaya. Dua belas hari sudah kami melakukan perjalanan untuk sepotong pengalaman bernama "liburan". Meninggalkan zona nyaman. Jauh dari rumah. Asing dari kenyamanan. Lekat dengan sesuatu yang baru. Tanpa disangka saya menemukan zona nyaman yang baru. Ini merupakan pengalaman pertama saya, hopping ke beberapa kota berbeda dalam waktu singkat dengan lingkungan dan budaya yang nyaris seragam. Akan saya ceritakan nanti bagaimana pengalaman pertama menginap dalam mix-dorm, kehidupan malam di kota yang tidak pernah tidur, hingga berputar-putar selama dua jam dalam jalur bus yang sama. Dan menjelang akhir perjalanan ini, kami berulang kali saling mengingatkan.
"Tulung elingke aku bali seko kene gek daftar kerjo ben gek nyambut gawe..aku pengen kerjo kantoran. Koe ki yo gek dirampungke kuliah'e, gek wisuda!"*


*Tolong ingatkan aku pulang dari sini agar segera mencari pekerjaan, aku ingin kerja kantoran. Kamu juga segera selesaikan kuliah dan segera wisuda! | how sweet! Aren't we? x)