Pages

30 January, 2014

Kind of People I used to meet in the morning

       Jadi, akhir-akhir ini kan aku lebih sering di rumah saat pagi hari, terutama dua tahun belakangan ini semenjak teori perkuliahan habis dan otomatis aku nggak pernah lagi kuliah pagi. Selama ini ada aja yang terjadi terutama waktu di pagi hari saat aku juga lagi stay di rumah. Nah, selama ini apa saja yang udah berhasil aku temui selama di rumah pagi-pagi? Lets check this one out!

1. Penjual Bubuk Abate Palsu
    Kalau tidak salah ingat, sudah dua kali saya bertemu dengan orang yang belagak bagi-bagiin bubuk abate di rumah. Pertama ngeliat, yang nawarin lumayan serem, lakik, badannya gede, dan suaranya nge-bass *yang ini apa hubungannya*. Kemudian dandan pake kemeja dan celana panjang serta sepatu kantoran. Dateng-dateng ke rumah waktu aku diapel pacar pagi-pagi, terus ngasihin bubuk abate buat ditaruh di bak kamar mandi. Aku terima dong. Habis itu doi njelasin gimana pakainya dan oke aku mau beranjak pergi ya. Ternyata suruh bayar. Harganya 15.000 rupiah! Lah bukannya gratis?? Itu kan biasa dikasih cuma-cuma sama Dinas Kesehatan. Dan aku yakin harganya nggak semahal itu! Memang wajahku teramat polos sehingga tampak mudah dibohongin kali yaaa..Baiklah. Aku mulai ragu dan telepon bapak. Bapak memang selalu jadi rujukanku tiap kali ada hal-hal yang mencurigakan atau meragukan seperti ini. Bapak bilang jangan dibayar dan bisa jadi aku dibohongin. Baiklah. Akhirnya aku kembali mendatangi doi dan bilang kalau nggak akan bayar. Dia sempat bilang kalau tetangga yang lain juga beli kok. Nehiiik!
2. Petugas PLN Gadungan
Waktu itu ada orang mengaku sebagai petugas PLN. Doi mau ngecek meteran listrik gitu. Dari tampilannya sih cukup pantes ya karenaq waktu itu doi pakai rompi seragam gitu, meskipun nggak ada nama instansinya. Setelah ngecek meteran di sebelah rumah, doi nyamperin dan ngasih semacam kartu kendali buat meteran gitu sambil bilang kalo itu kartu harganya 7.000 rupiah. Waktu itu aku beneran polos deh. Langsung nge-iya-in dan ngasih petugas itu uang sejumlah yang diminta. Setelah siangnya, aku lapor ke bapak, eh, bapak bilang kalo itu bohong. Cuma akal-akalan orang aja biar dapet duit. Setelah itu aku baru paham dan jadi pelajaran buat besok-besok.

3. Penelepon Gelap
Baru kemarin saya pagi-pagi, sekitar pukul 9.30, ditelepon oleh seseorang.

Penelepon (P): Halo,
Me (M): halo..
P: Halo..
M: halo,
P: Halo
M: IYA, halo *sedikit membentak*
P: Ibu nya ada?
M: Bapak-ibu lagi di kantor,
P: Saya Pak Indra bu, dari sekolah. Ini anaknya jatuh di sekolah
M: ini anaknya di rumah semua. Salah sambung mas, salah sambung
*kemudian telepon ditutup*

Just so you know, aku ini kan anak bungsu dari 3 bersaudara. Satu kakakku tinggal di Kalimantan dan satu tinggal di Jogja. Jadi mana mungkin isi berita dalam telepon Oke, aku sering banget dapat cerita penipuan yang modusnya serupa dengan cerita penelepon gelap di atas. Jengkel sih, pertama aku udah dipanggil "bu" yang kedua, emang rese sih orang-orang ini. Sempat nyesel kenapa nggak dikerjain sekalian, tapi aku memang langsung ingin buru-buru menyudahi telepon karena selain males menghadapi juga takut kalau malah ada hal lain yang tidak diinginkan, misalnya di hipnotis atau digendam.Nggak cuma itu, kadang ada juga penelepon yang sedikit annoying, nyariin bapak atau ibu, tanpa nyebutin siapa dia, darimana, dan kepentingannya apa atau pesan yang ingin disampaikan apa, ditambah lagi nadanya kadang intimidatif.

 Jadi begitulah beberapa orang yang aku temui selama sering di rumah. Selama di rumah sendiri pun ancaman penipuan nggak luput lho ternyata, semoga apa yang sedikit bisa memberi manfaat agar lainkali kita bisa waspada setiap orang yang punya niat jelek sama kita. Keep goin on!



25 January, 2014

Sharing Recipe #2: Terong Bruchetta

Untuk resep kedua yang akan saya share kali ini yaitu berbahan utama Terong. Seperti namanya, makanan ini terinspirasi, lagi-lagi, dari makanan khas Italia yaitu bruschetta. Pembuatannya yang nggak rempong namun cukup bikin kenyang bisa jadi pilihan buat Anda. Berikut cara pembuatannya


Bahan:
Terong 1-2 buah (sesuai kebutuhan) di potong miring
Margarin
merica
garam

Topping:
bawang bombay 1 buah ukuran sedang, diiris tipis
tomat, 2 buah ukuran sedang, dipotong kecil-kecil
daun kemangi
saus tomat/sambal

Cara memasak:
panggang terong pada teflon yang sudah dilumuri margarin, selain biar nggak gosong juga bisa memberikan rasa gurih.
Jangan lupa kalau sudah matang, dibalik pada sisi yang lain biar matangnya merata.
Kemudian tiriskan.
Untuk toppingnya, kita mulai dengan menumis bawang bombay dengan margarin yang sudah dipanaskan. Setelah harum dan setengah matang kemudian masukkan irisan tomat.
Tambahkan sedikiiiit air biar nggak gosong yes.
Setelah itu jangan lupa masukkan merica dan garam secukupnya.
Untuk penguat rasa, tambahkan saus sambal dan saus tomat sesuai selera.
Terakhir taburkan daun kemang sambil dicampur. (kalau mau fresh, daun kemangi tidak perlu di tumis bersama sausnya)
Setelah selesai ditumis kemudian matikan kompor.

Penyajian:
Terong yang sudah matang kemudian disajikan.
Setelah itu tinggal taruh tumisan saus beserta kemangi di atas terongnya.


Sharing Recipe #1: Fusilli Tomatoes

Memasak tidak hanya rutinitas yang biasa dilakukan oleh perempuan, buktinya banyak juga laki-laki yang mendominasi isi dapur cafe, restaurant, bahkan di rumah sendiri. Selain suka makan, kadang saya juga suka masak. Masak apapun. Kalau lagi pengen atau kalau orang Jawa bilang blangkemen (hasrat pengen ngunyah, makan, meskipun nggak laper atau udah kenyang) dan kalau emang lagi lapar. Saya nggak pernah menyulitkan diri buat masak sesuai dengan resep di majalah atau di tivi, kecuali kalau lagi nggak males dan ada yang bayarin belanjaan. Artinya, saya akan memasak dengan bahan apa yang ada di dapur dan bisa saya beli di sekitar rumah. Tau sendiri kan bahan-bahan untuk masak terkadang nggak murah, khususnya Western food, dari minyak nya aja pakai olive oil. Nah, dari beberapa masakan yang udah pernah kubuat, rasanya ingin sekali membagi resep-resep tersebut, meskipun iseng hanya coba-coba berbekal inspirasi dari makanan yang udah kondang. Beberapa makanan yang akan saya share emang makanan favorit dan sering dibuat bahkan ada yang ga pernah dibikin lagi.
Kali ini saya pingin bagi resep buat bikin tomatoes fusilli with garlic and onion. Fusili itu sebangsa makaroni tapi dia bentuknya mlintir-mlintir kaya' sekrup gitu. Makanan ini terinspirasi dari salah satu masakan Italia yang telah mendunia, yaitu pasta. Berikut bahan dan bumbu yang bisa dipersiapkan.

Bahan
Tomat ukuran sedang 2 buah, kemudian dipotong kasar atau halus atau juga bisa diblender (sesuai selera)
Fusilli semangkok kecil, di rebus sampai matang, kemudian tiriskan
Margarin untuk menumis
Air secukupnya

Bumbu
Bawang putih 3 siung, diiris tipis
Bawang bombay 1 buah, diiris tipis
Garam
Merica

Cara memasak
Tumis bawang putih dan bawang bombay pada margarin yang telah dipanaskan
Setelah tumisan wangi dan kira-kira 3/4 matang, kemudian masukkan tomat yang telah dihaluskan atau dipotong kasar. Setelah itu tambahkan air sedikit saja, kira-kira setengah gelas kecil agar tidak kebanyakan dan malah jadi berkuah.
Setelah matang masukkan fusilli sambil terus diaduk dan tambahkan garam dan merica sesuai selera. Sebentar saja, karena fusili sudah matang, lalu matikan api. Siap dihidangkan.

Voila!

24 January, 2014

seni bertahan hidup

           Akhir-akhir ini telinga saya seringkali terganggu dengan keluhan ibu soal karirnya. Pasalnya masa pensiun ibu yang harusnya jatuh tahun deoan menjadi mundur dua tahun, yaitu 2017. Jelas ibu uring-uringan karena beliau memang sudah merasa jenuh dan lelah dengan rutinitasnya itu. Beberapa tahun belakangan ini ibu memang sering pulang sore dan masih menanggung pekerjaan kantor saat tiba di rumah. Beliau juga jadi sering minta tolong soal pekerjaan pada bapak atau saya, mengingat bahwa ibu masih gaptek mengoperasikan komputer. Bisa saja ibu mengajukan pensiun dini namun selisih gaji yang diberikan juga cukup signifikan jika dibandingkan dengan pensiun tepat waktu. Hmm... yang saya takutkan selama ini pun terjadi. 
          Memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan atau hasrat memang dilematis. Di satu sisi penawaran akan kemapanan dan nominal gaji kadang berbanding terbalik dengan hasrat kita akan pekerjaan itu. Berbagai kemapanan yang ditawarkan sebagai pegawai negeri menjadi pilihan banyak orang untuk berebut pekerjaan ini. Tidak hanya itu, menjadi pekerja pemerintah seringkali menjadi prestige atau tolak ukur keberhasilan seseorang. Hal serupa sering kita temui di lingkungan sosial, seperti keluarga. Ibu saya pun pernah berkomentar kalau menjadi pegawai negeri bukanlah pilihan pekerjaan yang harus diraih anak-anaknya, tetapi saya juga tidak tahu kalau -mungkin- didalam ucapannya itu terkandung  kekecewaan. Pasalnya usia bagi kakak-kakak saya untuk mendaftarkan diri sebagai pegawai negeri sudah tidak memungkinkan lagi. Pendapat tersebut dilontarkan ibu setelah salah seorang kerabat kami "sukses" menuntun anak-anaknya menjadi pegawai negeri.
             Rutinitas, beban kerja, dan tekanan dari lingkungan kerja pasti akan dialami oleh setiap orang. Entah itu berprofesi di lahan pemerintah, swasta, atau menjadi freelancer sekalipun. Kadang kita berpikir untuk berpegang teguh pada idealisme kita untuk ingin bekerja sesuai dengan kemampuan dan keinginan, tetapi seringkali tawaran pekerjaan yang menggiurkan datang tanpa menghiraukan hasrat kita. Seorang teman juga pernah berkomentar bahwa kita tidak bisa selamanya se-idealis. Dalam hati saya mengiyakan. Banyak hal harus dipertimbangkan.
            Dulu saya pernah berkali-kali berpikir soal pilihan pekerjaan apa yang betul-betul diinginkan. Namun pilihan menjadi seorang pegawai negeri hampir-hampir tidak pernah hinggap dalam benak saya. Mungkin selain saya berkaca pada rutinitas kedua orangtua saya. Berangkat pagi pulang sore begitu terus selama enam hari dalam seminggu. Belum lagi melihat pekerjaan yang masih harus dikerjakan di rumah dan keluh kesah yang dikicaukan. Saya yang tidak menempuh sekolah kejuruan atau vokasi pun masih bingung apa yang sebetulnya saya ingin kerjakan. Menjadi seorang freelancer pun cukup menyenangkan namun juga tidak mudah dilakukan dan banyak hal harus dipikirkan seperti jaminan kehidupan jangka panjang.
               Kemapanan memang hal yang diincar oleh banyak orang tetapi kemapanan itu sendiri punya risiko yang secara tidak sadar kita alami. Bekerja sesuai dengan hasrat dan kata hati memang jadi keinginan semua orang tetapi perlu juga untuk menyadari risiko pekerjaan yang ditimbulkan. 

Bukankah hidup itu adalah seni untuk bertahan hidup?

Lalu, apakah pekerjaan impianmu? Let me know by giving comment on my post :p

11 January, 2014

Road to Belgium

Hi, blog!

             Entah mengapa mood untuk bercerita itu selalu datang tak tepat waktu dan sepertinya harus segera dilakukan, kalau tidak kisah perjalanan bertahun-tahun lalu bisa menguap begitu saja. Seperti cerita perjalanan berikut yang sebetulnya sudah terjadi (hampir) tiga tahun lalu! 
          Mood saya terbawa hingga ke satu episode dimana masa kursus di Woudschoten berakhir dan mengharuskan saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke tujuannya masing-masing. Teman-teman saya dari UI melanjutkan tur Eropa mereka ke Paris, Roma, dan Venezia. Kemudian teman lainnya melanjutkan persinggahan ke sanak saudara atau kerabat. Saya yang cekak uang saku ini akan melanjutkan perjalanan ke Gent, Belgia! Kenapa? Disana ada teman saya kursus semasa di Jakarta, bernama Bayu, yang juga ikutan summer course di Gent. Dia tinggal di asrama mahasiswa disana bersama tiga rekan lainnya yang berasal dari UI dan Surabaya. Dengan tergopoh-gopoh, kami, saya dan tiga teman lainnya naik kereta dari Utrecht Centraal Station menuju Amsterdam Centraal. Di dalam kereta ternyata kami harus berdiri berdesak-desakan dan menjaga keseimbangan agar tidak jatuh tiap kali kereta mengerem atau melaju ditambah lagi barang bawaan kami yang cukup menyita tempat sehingga sulit untuk mengatur ruang.
Sampai di Amsterdam Centraal. Solo trip dimulai! Ini pertama kalinya saya jalan sendirian. di Negara orang. Yang saya tuju pertama adalah loket penitipan barang. Setelah mengecek, ternyata dikenakan biaya sewa dan saya lupa ada alasan lain yang menyebabkan saya tidak jadi menitipkan kopor saya. Akhirnya saya beli tiket tujuan Gent, yang uh, ternyata saya nggak dihitung tiket pelaar, padahal lebih murah apalagi waktu itu ada tiket promo khusus summer! Setelah bertanya ke petugas, saya harus transit dimana, dan akan sampai di tujuan jam berapa saya langsung bergegas ke peron. Saya sempat diberikan catatan, untuk memperjelas maksud petugas tersebut, karena memang saya mulai bingung dan tidak dapat menangkap penjelasannya.
Graveensteen
                     Perjalanan dimulai. Kereta telah melaju. Hingga saat itu saya lupa sampai dimana, dan sudah lewat dari jam satu siang, waktu dimana seharusnya saya ganti kereta. Saya tanyakan pada petugas dimana saya harus turun. Ternyata tujuan Gent, sudah kebablasan, doeng! Akhirnya saya diturunkan di stasiun berikutnya. Disana saya dioper ke kereta berikutnya tanpa perlu beli tiket lagi. Setelah sekian jam, akhirnya jam 3 sore saya sampai di Gent dengan cuaca yang tidak bersahabat. Karena hujan saya dianjurkan naik taksi oleh Bayu karena ia sepertinya akan terlambat dan hanya bersepeda. Saya ragu karena takut taksi akan mahal. Jadilah saya memutuskan naik bus, setelah kebingungan saya harus kemana, saya bertanya kepada petugas dan dengan baik hati saya diberikan peta! Untuk menuju halte. Tapi kata Bayu bus akan segera berakhir jam beroperasinya. Bodohnya saya membaca peta membuat saya tersesat dan muter-muter di kompleks perumahan belakang stasiun. Hingga akhirnya.... kesialan itu datang. Ban kopor saya lepas! Karena tidak mampu menahan beban yang berlebihan. Kopor (pinjaman) saya kecil dan tidak kuat lagi menahan beban ditambah berjalan diatas jalan yang tidak selalu rata. Kayaknya sih ini rodanya kepanasan gitu jadi memuai dan lepas dari rangkanya. Buruknya ;agi saat itu hujan! Jadilah saya teronggok di pinggir jalan sendirian, menunggu kabar dari Bayu setelah kuceritakan bagaimana keadaan saya. Saya ingat betul saat itu menunggu di sebelah restauran Asia sembari ditemani hujan. Di saat-saat kesulitan seperti ini, saya kemudian teringat rumah, ibu, ayah, dan kakak. Huuuuhuu *drama pun dimulai. Nampaknya Bayu mulai kesal begitu ia datang menemui saya. hehehe Bayu datang bersama temannya dan kami berjalan kembali ke stasiun untuk mendapatkan taksi. Perasaan bersalah mengahntui saya. 
Tiba di Home Boudewijn. Ini adalah asrama mahasiswa Gent. Disini saya kemudian numpang menginap selama tiga malam bersama peserta summer course lainnya. 
Kamar di Asrama Homeboudewijn, Gent
Nah, ngapain aja saya di hari berikutnya di Gent? 

05 January, 2014

Cara Hidup Elegan a la Orang Indonesia



Hallo blog!

So here we go, setelah sekian waktu tidak menuangkan idea tau sekedar menulis curhatan basi, saya kembali ingin menggoreskan sedikit hal-hal menarik yang saya temukan akhir2 ini. Sebuah buku milik teman yang sekian lama teronggok di kamar dan tak kunjung saya baca, tiba-tiba menarik perhatian. Mumpung minat baca saya lagi on going, maka saya iseng membuka-buka halaman demi halaman. Buku tersebut adalah goresan tangan Jean Gelman Taylor dengan judul Kehidupan Sosial di Batavia. Tak sengaja saya menemukan sepenggal paragraf yang secara tidak langsung menjawab pertanyaan yang dulu pernah terbersit di benak saya.

                “Pada masa berikutnya, beberapa penulis lain mengemukakan kekagumannya terhadap kebiasaan dan tingkahlaku yang khas di Indonesia. Mereka menyebutnya sebagai “keramahan Indies”. “Keramahan Indies” ini antaralain keroyalan memberikan hadiah pada teman dan sudara. Juga keramahan pada tamu yang selalu mereka hibur agar betah berlama-lama di rumahnya. Mereka melihat bahwa hidup yang elegan adalah kehidupan sehari-hari yang berjalan dalam tempo yang lambat, percakapan di luar rumah di malam hari selama berjam-jam, berjalan-jalan dengan kereta kuda dan bermain bola. Mereka begitu hangat dan suka menolong sesama orang Eropa yang dianggap oleh para kritikus sebagai sebuah kemunafikan semata.”


Sepertinya saya sekarang mengerti bagaimana kebiasaan bercengkrama atau nongkrong berlama-lama di Indonesia berasal. Bagi seorang mahasiswa sejarah, katakanlah saya terlambat mengetahui hal ini. Buat mereka, juga saya dan teman-teman, yang sering nongkrong sembari minum kopi atau menghabiskan waktu makan dengan mengobrol hingga berjma-jam bersama rekan nampaknya sudah menjadi kebiasaan harian. Tengok saja di kantin kampus, burjoan, atau angkringan dimana orang dari berbagai latar belakang menjadi cair dalam satu obrolan atau isu terhangat. Aktivitas tersebut tidak hanya berlangsung sepuluh atau tiga puluh menit saja bahkan kadang bisa berjam-jam! Yah, ini tergantung pada tipikal masing-masing orang, yang memang butuh nongkrong karena ingin menghindari tekanan pekerjaan sejenak atau ada juga orang yang saking “selo” (punya waktu luang banyak)nya bisa rutin nongkrong berjam-jam, barangkali saya termasuk golongan kedua. Obrolan bisa muncul lewat apa saja, dari awalnya yang hanya membahas seputar perkuliahan atau urusan pekerjaan bisa berlanjut hingga topic terhangat; kasus selebriti, keadaan politik terkini, cerita-cerita konyol yang muncul dari satu mulut kemudian diiringi cerita dari mulut lain hingga ujung-ujungnya ngomongin orang lain. Dari yang awalnya hanya berniat bertemu tiga puluh menit saja bisa mundur hingga satu jam kemudian dua jam dan akhirnya sampai bahan obrolan habis, pertemuan baru berakhir. Bahkan tak jarang dari satu pertemuan kita akan bertemu dengan orang baru, temannya teman, atau orang baru yang ikut cair dalam obrolan kita seperti yang sering terjadi di angkringan atau burjoan. Kita tahu dan sadar sebenarnya bahwa pada saat yang bersamaan masih ada satu dua pekerjaan yang sedang menanti atau tertunda untuk dikerjaan, tetapi besar keinginan untuk bertemu kawan atau sahabat untuk sekedar berbincang sejenak mengalahkan prioritas lain.

                            "Orang-orang Eropa ini semakin menambah keluwesan dalam berbudaya Indies dengan meminum kopi di pagi hari, tidur siang, dan saling berkunjung satu sama lain.."

Kebiasaan nongkrong sambil “jagongan” ini tidak hanya dialami oleh anak muda saja yang gemar berkumpul di tempat-tempat terhangat seperti coffee shop, galeri seni, atau burjoan, kalau Anda coba tengok ke beberapa sudut perkampungan padat penduduk hamper dipastikan di sore hari atau waktu-waktu senggang lain banyak penduduk akan nongkrong di depan rumah, cakruk (pos ronda), hanya untuk sekedar melamun atau berbincang dengan tetangganya. Di Jogja sering saya temui hal semacam ini, seperti di perkampungan sekitar Kali Code, atau di satu daerah dekat rel kereta api daerah Pengok. Pernah satu kali saya menemui fenomena serupa sewaktu saya sedang menempuh perjalanan menuju Surabaya Town Square dengan sepeda motor. Karena ada dari teman kami yang tidak memakai helm, maka terpaksa kami menghindari jalan raya yang sarat akan keberadaan Polisi. Tibalah saat itu kami melewati perkampungan –sangat- padat penduduk, dimana banyak orang nongkrong depan rumah dari anak kecil, emak-emak, sampai bapak-bapak tentu saja kami harus menuntun kendaraan kami karena jalan yang padat penduduk dan sempit. Sesaat saya berpikir, ini semua orang kenapa berada di luar rumah? Sekalipun saat itu sudah menjelang senja. Apa yang seharusnya mereka lakukan? Tidakkah ada hal lain yang begitu lebih penting untuk dilakukan di dalam rumah mereka? Entahlah, barangkali mereka terlalu menikmati waktu luang hingga terlewat elegan.

Perempuan Indo tampak sedang bersantai dengan kebaya dan kain batik.  Sumber foto: Tropen Museum

Saya kemudian jadi teringat oleh komentar salah seorang tamu dari Belanda yang waktu itu ikut dalam rombongan suatu event. Saat itu kami sedang berada dalam bus pariwisata yang akan menuju Ibis Style Hotel. Karena kami sebelumnya harus drop tamu lain di Hotel Inna Garuda, maka kami kemudian melewati Jalan Dagen untuk menuju hotel tamu terakhir. Yap, jalan dagen yang sekecil dan sepadat itu akan dilewati oleh bus kami yang cukup besar. Awalnya saya khawatir kalau-kalau tidak cukup, karena tahu sendiri di sepanjang jalan banyak kendaraan di parkir dan juga orang berjualan, fyi: jalan dagen merupakan kawasan pariwisata dimana banyak penginapan dan restoran berdiri disana. Benar saja, tamu kami pun cukup heran dan bahkan memotret dari dalam bus kondisi di hadapan kami: orang-orang harus minggir sejenak bahkan tukang becak sekalipun hanya untuk memberikan ruang bagi bus kami untuk melintas. Saya awalnya malu dengan hal semacam ini. Betapa tata ruang kota kita tidak teratur dan sangat semrawut, dan bus sebetulnya tidak seharusnya lewat jalan ini. God!

Dugaan saya salah, komentar tamu saya justru mengagetkan dan justru cenderung mengapresiasi fenomena ini. Inti perkataannya yaitu: Saya terkesan dengan ini, orang disini bisa toleransi dengan pengguna jalan lain tanpa menimbulkan konflik, mereka saling member ruang dengan orang lain. Saya menimpalinya dengan berkata bahwa ya, tentu ini berbeda ya dengan di Negara Anda  dimana semuanya diatur dengan baik, orang berjalan sesuai tempatnya dan bukankah mereka disini egois ya? Karena memaksakan kepentingan mereka dengan berjalan tidak sesuai tempatnya (missal orang jualan di trotoar, orang jalan kaki diganggu jalannya oleh penunggang sepeda motor). Tamu saya kembali berkata bahwa “Tetapi orang-orang disini sangat slow tidak tergesa-gesa,  laid back, dan itu menyenangkan, seperti tidak diburu sesuatu.” Kemudian salah seorang teman ikut berkomentar namun saya tidak bisa mengikutinya, saya pun menyerah dan menjawab tidak tahu saat beliau menanyakan apakah saya tau maksud mereka? Hehehehe

Baiklah. Inilah barangkali yang dimaksud dengan “Keramahan Indies”; menjalani hidup dengan tempo yang lambat adalah cara hidup yang elegan J

Well, see this? Ternyata orang dari Negara lain melihat beberapa kebiasaan kita ini dari sisi yang berbeda, mereka menganggap kehidupan kita yang laid back, dengan jalan santai, “berbagi jalan” (saling memberikan space antar pengguna jalan meskipun kita tahu secara aturan tidak dibolehkan), termasuk nongkrong berjam-jam –barangkali- adalah hal yang tidak buruk menurut mereka. Jelas sangat berbeda dengan kehidupan mereka yang selalu in hurry, harus tepat waktu karena bagi mereka time is money. Kita juga kok, waktu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja tanpa bercengkerama dengan minuman hangat faforit ditemani obrolan bersama teman terkasih *haissss