Hallo blog!
So here we go, setelah sekian
waktu tidak menuangkan idea tau sekedar menulis curhatan basi, saya kembali
ingin menggoreskan sedikit hal-hal menarik yang saya temukan akhir2 ini. Sebuah
buku milik teman yang sekian lama teronggok di kamar dan tak kunjung saya baca,
tiba-tiba menarik perhatian. Mumpung minat baca saya lagi on going, maka saya
iseng membuka-buka halaman demi halaman. Buku tersebut adalah goresan tangan
Jean Gelman Taylor dengan judul Kehidupan Sosial di Batavia. Tak sengaja saya
menemukan sepenggal paragraf yang secara tidak langsung menjawab pertanyaan
yang dulu pernah terbersit di benak saya.
“Pada masa berikutnya, beberapa penulis lain
mengemukakan kekagumannya terhadap kebiasaan dan tingkahlaku yang khas di
Indonesia. Mereka menyebutnya sebagai “keramahan Indies”. “Keramahan Indies”
ini antaralain keroyalan memberikan hadiah pada teman dan sudara. Juga
keramahan pada tamu yang selalu mereka hibur agar betah berlama-lama di
rumahnya. Mereka melihat bahwa hidup yang elegan adalah kehidupan sehari-hari
yang berjalan dalam tempo yang lambat, percakapan di luar rumah di malam hari
selama berjam-jam, berjalan-jalan dengan kereta kuda dan bermain bola. Mereka
begitu hangat dan suka menolong sesama orang Eropa yang dianggap oleh para
kritikus sebagai sebuah kemunafikan semata.”
Sepertinya saya sekarang
mengerti bagaimana kebiasaan bercengkrama atau nongkrong berlama-lama di
Indonesia berasal. Bagi seorang mahasiswa sejarah, katakanlah saya terlambat
mengetahui hal ini. Buat mereka, juga saya dan teman-teman, yang sering
nongkrong sembari minum kopi atau menghabiskan waktu makan dengan mengobrol
hingga berjma-jam bersama rekan nampaknya sudah menjadi kebiasaan harian.
Tengok saja di kantin kampus, burjoan, atau angkringan dimana orang dari
berbagai latar belakang menjadi cair dalam satu obrolan atau isu terhangat.
Aktivitas tersebut tidak hanya berlangsung sepuluh atau tiga puluh menit saja
bahkan kadang bisa berjam-jam! Yah, ini tergantung pada tipikal masing-masing
orang, yang memang butuh nongkrong karena ingin menghindari tekanan pekerjaan
sejenak atau ada juga orang yang saking “selo” (punya waktu luang banyak)nya
bisa rutin nongkrong berjam-jam, barangkali saya termasuk golongan kedua. Obrolan
bisa muncul lewat apa saja, dari awalnya yang hanya membahas seputar
perkuliahan atau urusan pekerjaan bisa berlanjut hingga topic terhangat; kasus
selebriti, keadaan politik terkini, cerita-cerita konyol yang muncul dari satu
mulut kemudian diiringi cerita dari mulut lain hingga ujung-ujungnya ngomongin
orang lain. Dari yang awalnya hanya berniat bertemu tiga puluh menit saja bisa
mundur hingga satu jam kemudian dua jam dan akhirnya sampai bahan obrolan habis, pertemuan baru berakhir. Bahkan tak jarang dari satu pertemuan kita akan bertemu dengan
orang baru, temannya teman, atau orang baru yang ikut cair dalam obrolan kita
seperti yang sering terjadi di angkringan atau burjoan. Kita tahu dan sadar
sebenarnya bahwa pada saat yang bersamaan masih ada satu dua pekerjaan yang
sedang menanti atau tertunda untuk dikerjaan, tetapi besar keinginan untuk
bertemu kawan atau sahabat untuk sekedar berbincang sejenak mengalahkan
prioritas lain.
"Orang-orang Eropa ini semakin menambah keluwesan dalam berbudaya Indies dengan meminum kopi di pagi hari, tidur siang, dan saling berkunjung satu sama lain.."
"Orang-orang Eropa ini semakin menambah keluwesan dalam berbudaya Indies dengan meminum kopi di pagi hari, tidur siang, dan saling berkunjung satu sama lain.."
Kebiasaan nongkrong sambil
“jagongan” ini tidak hanya dialami oleh anak muda saja yang gemar berkumpul di
tempat-tempat terhangat seperti coffee shop, galeri seni, atau burjoan, kalau
Anda coba tengok ke beberapa sudut perkampungan padat penduduk hamper
dipastikan di sore hari atau waktu-waktu senggang lain banyak penduduk akan
nongkrong di depan rumah, cakruk (pos ronda), hanya untuk sekedar melamun atau
berbincang dengan tetangganya. Di Jogja sering saya temui hal semacam ini,
seperti di perkampungan sekitar Kali Code, atau di satu daerah dekat rel kereta
api daerah Pengok. Pernah satu kali saya menemui fenomena serupa sewaktu saya
sedang menempuh perjalanan menuju Surabaya Town Square dengan sepeda motor.
Karena ada dari teman kami yang tidak memakai helm, maka terpaksa kami
menghindari jalan raya yang sarat akan keberadaan Polisi. Tibalah saat itu kami
melewati perkampungan –sangat- padat penduduk, dimana banyak orang nongkrong
depan rumah dari anak kecil, emak-emak, sampai bapak-bapak tentu saja kami
harus menuntun kendaraan kami karena jalan yang padat penduduk dan sempit.
Sesaat saya berpikir, ini semua orang kenapa berada di luar rumah? Sekalipun
saat itu sudah menjelang senja. Apa yang seharusnya mereka lakukan? Tidakkah
ada hal lain yang begitu lebih penting untuk dilakukan di dalam rumah mereka?
Entahlah, barangkali mereka terlalu menikmati waktu luang hingga terlewat elegan.
Perempuan Indo tampak sedang bersantai dengan kebaya dan kain batik. Sumber foto: Tropen Museum |
Saya kemudian jadi teringat
oleh komentar salah seorang tamu dari Belanda yang waktu itu ikut dalam
rombongan suatu event. Saat itu kami sedang berada dalam bus pariwisata yang
akan menuju Ibis Style Hotel. Karena kami sebelumnya harus drop tamu lain di
Hotel Inna Garuda, maka kami kemudian melewati Jalan Dagen untuk menuju hotel
tamu terakhir. Yap, jalan dagen yang sekecil dan sepadat itu akan dilewati oleh
bus kami yang cukup besar. Awalnya saya khawatir kalau-kalau tidak cukup,
karena tahu sendiri di sepanjang jalan banyak kendaraan di parkir dan juga
orang berjualan, fyi: jalan dagen merupakan kawasan pariwisata dimana banyak
penginapan dan restoran berdiri disana. Benar saja, tamu kami pun cukup heran
dan bahkan memotret dari dalam bus kondisi di hadapan kami: orang-orang harus
minggir sejenak bahkan tukang becak sekalipun hanya untuk memberikan ruang bagi
bus kami untuk melintas. Saya awalnya malu dengan hal semacam ini. Betapa tata
ruang kota kita tidak teratur dan sangat semrawut, dan bus sebetulnya tidak
seharusnya lewat jalan ini. God!
Dugaan saya salah, komentar
tamu saya justru mengagetkan dan justru cenderung mengapresiasi fenomena ini.
Inti perkataannya yaitu: Saya terkesan dengan ini, orang disini bisa toleransi
dengan pengguna jalan lain tanpa menimbulkan konflik, mereka saling member
ruang dengan orang lain. Saya menimpalinya dengan berkata bahwa ya, tentu ini
berbeda ya dengan di Negara Anda dimana
semuanya diatur dengan baik, orang berjalan sesuai tempatnya dan bukankah
mereka disini egois ya? Karena memaksakan kepentingan mereka dengan berjalan
tidak sesuai tempatnya (missal orang jualan di trotoar, orang jalan kaki
diganggu jalannya oleh penunggang sepeda motor). Tamu saya kembali berkata
bahwa “Tetapi orang-orang disini sangat slow
tidak tergesa-gesa, laid back, dan
itu menyenangkan, seperti tidak diburu sesuatu.” Kemudian salah seorang teman
ikut berkomentar namun saya tidak bisa mengikutinya, saya pun menyerah dan
menjawab tidak tahu saat beliau menanyakan apakah saya tau maksud mereka? Hehehehe
Baiklah. Inilah barangkali
yang dimaksud dengan “Keramahan Indies”; menjalani hidup dengan tempo yang
lambat adalah cara hidup yang elegan J
Well, see this? Ternyata orang
dari Negara lain melihat beberapa kebiasaan kita ini dari sisi yang berbeda,
mereka menganggap kehidupan kita yang laid back, dengan jalan santai, “berbagi
jalan” (saling memberikan space antar pengguna jalan meskipun kita tahu secara
aturan tidak dibolehkan), termasuk nongkrong berjam-jam –barangkali- adalah hal
yang tidak buruk menurut mereka. Jelas sangat berbeda dengan kehidupan mereka
yang selalu in hurry, harus tepat waktu karena bagi mereka time is money. Kita
juga kok, waktu terlalu berharga untuk
dilewatkan begitu saja tanpa bercengkerama dengan minuman hangat faforit
ditemani obrolan bersama teman terkasih *haissss
No comments:
Post a Comment