Pada kesempatan ini, saya hanya sekedar ingin melebarkan pandangan dan mengurai pengalaman dari apa yang selama ini kita sebut dengan berwisata piknik, tamasya, jalan-jalan, atau mungkin kalian lebih nyaman menggunakan istilah traveling. Yup. Semua orang sedang berada dalam euforia ini. Tidak ada maksud untuk menghakimi atau menyudutkan siapapun dalam curhatan kali ini. Ini semua pure hanya untuk memproyeksikan segala buah pikiran dan segala yang pernah saya jumpai dalam sebuah kegiatan yang bernama perjalanan.
Please be relax...
Beberapa waktu lalu, seorang teman membagi sebuah
laman yang berisi interview seorang tokoh sosmed yang kemudian mengulas banyak soal makna seorang pejalan. Yaaah, intinya sih kalau dalam interview tersebut, si tokoh yang bernama Arman Dhani -bisa disimpulkan- hampir-hampir mengkalim kalau pariwisata atau kegiatan melancong ini cenderung membawa
mudharat bagi alam, bersifat eksploitatif dan tidak selalu mendatangkan keuntungan bagi lingkungan maupun masyarakatnya. Sebelumnya seorang kawan juga pernah men-suggest sebuah laman soal
green traveler kepada saya, isinya lebih kurang sama yaitu bagaimana kita sebagai seorang pejalan seharusnya bisa bertanggungjawab terhadap alam atau tempat yang dikunjungi. Salah satu yang ditekankan adalah dengan tidak mempromosikannya kepada khalayak luas, karena dengan begitu kita telah memicu kerusakan yang akan ditimbulkan jika banyak orang datang ke tempat tersebut. Karena nggak semua orang bisa bersikap bijaksana dalam memperlakukan suatu tempat. Pada kesempatan yang lain, seorang teman juga pernah berkomentar bahwa
tourism atau traveling merupakan salah satu bentuk hedonisme yang paling rendah. Dia juga mengatakan bahwa banyak ulasan travel blogger/ writer yang tidak berbobot, mereka hanya menulis soal keindahan suatu objek, akses menuju tempat tersebut, apa yang bisa dilakukan disana, namun tanpa pernah mengkajinya secara humanis atau edukatif.
Cetek. Dangkal, katanya. Iya. Saya mengamini seluruh pendapat tersebut.
Betul juga sih semua itu. Bayangkan saja saat ada ribuan orang camping di Ranukumbolo, yang beberapa waktu lalu diadakan oleh brand outdoor ternama, seperti apa kerusakan alam yang akan terjadi disana? Kegiatan yang mengundang banyak peminat itu melebihi kapasitas yang ditentukan oleh Taman Nasional tersebut. Saya juga menjadi saksi mata saat wisatawan di Pahawang bersnorkeling ria tanpa rasa bersalah berdiri di atas terumbu karang! Dan dengan sangat menyesal saya akui, saya dulu memang pernah mengunjungi Pulau Sempu, dan benar saja semakin ramainya tempat tersebut oleh para 'pelancong gelap' membuat Sempu semakin kotor. Banyak sampah di Segara Anakan. Di sisi lain, warga tetap menjalankan pekerjaan mereka, mengantar tamu dengan kapal mereka menuju Pulau. Ini soal uang. Soal perut yang harus mereka isi.
Pada kesempatan yang lain, saya -sebagai person yang (tidak munafik) juga senang berwisata- menjumpai berbagai perspektif dari teman pejalan lainnya.
Suatu kali seorang teman bercerita dengan sangat bangga bahwa dia bisa makan gratis dari penduduk lokal di suatu pulau, juga bisa menginap tanpa biaya. Nggak heran sih, dia menamakan dirinya 'pejalan gembel' dimana semakin murah atau kalau bisa gratis sesuatu yang kita peroleh, maka semakin keren label yang kita sandang. Saya kembali teringat pada perkataan seorang teman bahwa seringkali kita lupa bagaimana memanusiakan manusia. Saat kita diberi, meskipun secara gratis, ya seharusnya kita balik memberi... bukannya dengan bangga menerima begitu saja apa yang diberikan oleh orang lain. Contohnya saja, saat kita diperbolehkan menginap di rumah penduduk lokal, maka paling tidak kita memberikan kontribusi kepada mereka juga. Tidak hanya observasi atau menikmati alamnya, namun kita seharusnya juga ikut 'memberi' mereka, yang telah memberikan kita tempat tinggal. Bahkan seringkali kita tidak memperhatikan risiko yang kita berikan kepada oranglain yang telah membantu kita. Misalnya saja saat ada pejalan yang ngompreng atau nebeng gratisan di sebuah truk. Kalau duitnya beneran ga ada atau habis kecopetan sih beda ceritanya ya...tapi kalau nebeng angkutan cuma untuk meminimalisir bajet? Saya rasa itu juga nggak bijak. Misalnya nih, kalau kita nebeng, -meskipun dengan persetujuan sopir- kita secara tidak langsung memberi risiko pada si sopir, kalau -amit2- ada kecelakaan atau razia polisi, otomatis si sopir lah yang mau tidak mau harus ikut bertanggungjawab atas 'tumpangannya'.
Pernah suatu kali saya menginterupsi seorang teman yang memilih untuk ''mengkompor-kompori'' oranglain agar mau berwisata ke tempat yang ia kunjungi melalui upload-an foto-foto di facebooknya. Saya saat itu bilang justru kalau begitu kamu sama saja mengundang mereka untuk merusak alam tersebut, karena nggak semua orang bisa bertanggungjawab lho. Dia tetep kekeuh dengan alasan promosi wisata Indonesia lebih baik dilakukan daripada orang-orang menghabiskan uang ke luar negeri, katanya.
Pada kesempatan yang lain seorang teman berpendapat juga kalau sebaiknya tempat yang indah itu disimpen buat sendiri aja, nggak perlu dipublish atau dikoar-koarin ke oranglain. Sama seperti yang dikatakan mas Arman Dhani.
Gawatnya lagi, seorang teman pernah terobsesi untuk membangun bisnis (resort) di suatu pulau yang pernah kami kunjungi dimana saat ini belum banyak orang tahu keberadaan pulau tersebut *tepok jidat*
Seperti Arman Dhani bilang, banyak traveler yang tujuan jalannya 'cuma' untuk pencapaian destinasi semata, upload di sosmed kemudian publish di blog. Orang-orang semacam ini pernah juga saya jumpai, barangkali juga saya sendiri, bahkan.
Bagi mereka yang pro terhadap kunjungan Pariwisata, alasan keberdayaan ekonomi masyarakat (dan investor) lah yang diagungkan. Di sisi lain, alam perlu dijaga keseimbangan ekosistemnya. Cukup kompleks kalau kita mau mengkaji persoalan ini. Nggak bisa kita lihat hanya dari satu sudut pandang saja.
Kemudian saya merefleksikan pengalaman tersebut terhadap apa yang sering saya lakukan. Tulisan perjalanan saya di blog ini, boleh dikatakan sama sekali tidak berbobot. Cuma bercerita soal catatan perjalanan saya semata, meskipun kadang saya sisipi informasi. Foto-foto saya bersifat 'pamer', barangkali. Bersifat eksploitatif. Tetapi saya tidak mau munafik, tujuan saya dari awal ya untuk menuliskan catatan perjalanan, sebagai memoir belaka, sedangkan untuk foto saya bermaksud mendokumentasikan saja dan tell a friend. Mungkin alasan yang terakhir ini yang tidak manusiawi. Seolah-olah saya menceritakan bahkan mengundang mereka untuk mengunjungi tempat-tempat indah yang juga saya kunjungi. ''Seolah-olah'' lhoo...
Yup. Betul. Seperti yang dimuat dalam interview dengan Arman Dhani, disebutkan bahwa semua itu kembali ke tujuan personal seorang pejalan. Apapun penyebutannya, mau bakpacker, flashpacker, traveler, semua punya tujuan masing-masing. Mau traveling dengan konsep minim bajet, mencari pengalaman, mendambakan pleasure semata, atau sekedar pencapaian saja, itu yang diluar kendali kita. Nggak bisa sih kita menghakimi aktivitas tersebut. Mau kita cuma dateng untuk seneng-seneng, liputan, pekerjaan, atau observasi, minimal kita bisa bersikap bijak sama alam dan masyarakatnya. Ini sih yang nggak semua orang bisa. Belajar dari apa yang kita lihat dan alami.
Selamat Lebaran!
*cium tangan*